Cari Blog Ini

Jumat, 09 Maret 2012

Makalah Masail Fiqh Nikah sirri


PANDANGAN ISLAM TENTANG NIKAH SIRRI

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah                       : Masail Fiqh
Dosen pengampu              : Dr. Makrom Kolil, M.Ag
  

Disusun oleh :

1.      Nurul Witri                  202109013
2.      Muh. Syamsuddin       202109016
3.      Ririn Dian Metasari     202109017
4.      Tuti Maryam               202109018


JURUSAN TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PEKALONGAN
2012

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Perkawinan merupakan sunah nabi Muhammad saw. Sunnah diartikan secara singkat adalah, mencontoh tindak laku nabi Muhammad saw. Perkawinan diisyaratkan supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan ridha Allah SWT, dan hal ini telah diisyaratkan dari sejak dahulu, dan sudah banyak sekali dijelaskan di dalam al-Qur’an:
  
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. (QS. an-Nuur ayat 32).
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan:[1]
1.      Pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri), dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat.
2.      Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara.
Faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya pernikahan sirri adalah:
1.      Nikah sirri dilakukan karena hubungan yang tidak direstui oleh orang tua kedua pihak atau salah satu pihak. Misalnya orang tua kedua pihak atau salah satu pihak berniat menjodohkan anaknya dengan calon pilihan mereka. Orang tuanya menikahkan siri dengan tujuan untuk mengikat dulu supaya tidak diambil oleh orang lain.
2.      Nikah sirri dilakukan karena adanya hubungan terlarang, misalnya salah satu atau kedua pihak sebelumnya pernah menikah secara resmi dan telah mempunyai istri atau suami yang resmi, tetapi ingin menikah lagi dengan orang lain.
3.      Nikah sirri dilakukan dengan dalih menghindari dosa karena zina. Kekhawatiran karena hubungannya yang semakin hari semakin dekat, menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya perbuatan yang melanggar syariah. Pernikahan siri dianggap sebagai jalan keluar yang mampu menghalalkan gejolak cinta sekaligus menghilangkan kekhawatiran terjadinya zina.
4.      Nikah sirri dilakukan karena pasangan merasa belum siap secara materi dan secara sosial. Hal ini biasa dilakukan oleh para mahasiswa, disamping karena khawatir terjadi zina, mereka masih kuliah, belum punya persiapan jika harus terbebani masalah rumah tangga. Status pernikahanpun masih disembunyikan supaya tidak menghambat pergaulan dan aktivitas dengan teman-teman di kampus.
5.      Nikah sirri dilakukan karena pasangan memang tidak tahu dan tidak mau tahu prosedur hukum. Hal ini bisa terjadi pada suatu masyarakat wilayah desa terpencil yang jarang bersentuhan dengan dunia luar. Lain lagi dengan komunitas jamaah tertentu misalnya, yang menganggap bahwa kyai atau pemimpin jamaah adalah rujukan utama dalam semua permasalahan termasuk urusan pernikahan. Asal sudah dinikahkan oleh kyainya, pernikahan sudah sah secara Islam dan tidak perlu dicatatkan, juga nikah sirri dilakukan untuk menghindari beban biaya dan prosedur administrasi yang berbelit-belit.
6.      Nikah sirri dilakukan hanya untuk penjajagan dan menghalalkan hubungan badan saja. Bila setelah menikah ternyata tidak ada kecocokan maka akan mudah menceraikannya tanpa harus melewati prosedur yang berbelit-belit di persidangan. Dilihat dari tujuannya, hal ini sangat merendahkan posisi perempuan yang dijadikan objek semata, tanpa ada penghargaan terhadap lembaga pernikahan baik secara islam maupun secara hukum.
Di Indonesia telah terjadi pembaharuan hukum di bidang hukum keluarga, dengan disahkannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut UU ini, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan). Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi:
1.   Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;
2.      Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[2]
Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. “Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di KUA. Sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari mereka yang beragama dan kepercayaan selain Islam, cukup menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat 2 PP No. 9 tahun 1975” dengan dicatat di kantor catatan sipil.[3]
Namun yang terjadi di lapangan adalah, terjadi dikotomi antara apa yang dipahami sebagai syarat sah perkawinan menurut kelompok tradisional dengan kelompok modern. Kali ini, fenomena itu dipicu dengan keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengesahkan pernikahan di bawah tangan. Pengesahan ini dihasilkan dari forum ijtima yang dihadiri lebih dari 1000 ulama dari berbagai unsur di Indonesia. Acara tersebut digelar beberapa waktu lalu di kompleks pondok modern Darussalam Gontor, Pacitan, Jawa Timur”[4]. Pembahasan mengenai pernikahan di bawah tangan ini menghasilkan dua jawaban
1.    Peserta ijtima’ ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah prefentif untuk menolak dampak negatif atau mudharat.
2.  Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat mudharat.[5]
Dua jawaban di atas menunjukkan ketidak tegasan MUI dalam menanggapi masalah nikah di bawah tangan tersebut. Hal tersebut berbeda dengan pemikiran modern yang terus berjuang untuk melaksanakan pencatatan nikah sebagai bagian dari rukun nikah sehingga tidak terdapat kemudharatan dan dapat dijadikan sebagai alat perlindungan terhadap wanita. Menurut Muhammad Quraish Shihab setiap perkawinan yang dilakukan di Indonesia harus dicatatkan kepada pemerintah untuk memperoleh status hukum yang pasti.[6]
Sebagai contoh bahayanya nikah tidak dicatat adalah, seseorang akan mengalami kegagalan untuk mendapatkan kepastian hukum, hanya karena tidak dapat menunjukkan bukti yang otentik tentang identitas pribadi seseorang. Misalnya dalam keluarga, akta perkawinan mempunyai aspek hukum untuk digunakan sebagai bukti jika dalam keluarga terjadi peristiwa kematian. Misalnya seorang suami meninggal dunia, dengan meninggalkan seorang isteri dan tiga orang anak, yang akan tampil secara bersama-sama sebagai ahli waris dari si suami (yang meninggal). Bagaimana caranya untuk membuktikan bahwa ahli waris tersebut adalah isteri yang sah dari suaminya yang telah meninggal dunia. Demikian pula bagaimana caranya untuk membuktikan bahwa ketiga anak tersebut benar-benar anak kandung yang sah (nasabnya kepada orang tuanya). Dalam hal ini, tidak akan timbul kesulitan apabila telah memiliki bukti otentik berupa akta perkawinan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Dengan kata lain, dapat dijelaskan bahwa dengan akta perkawinan, maka isteri yang ditinggalkan oleh suaminya mempunyai suatu pegangan (alat bukti) yang menunjukkan bahwa dia benar-benar sebagai janda dari si suami yang telah meninggal dunia.
Berdasarkan pemaparan di atas maka jelaslah bahwa aspek hukum dari pencatatan nikah adalah untuk memperoleh suatu kepastian hukum dalam hal perkawinan dan nasab anak. Segala peristiwa itu dicatat, karena sebagai sumber adanya kepastian perkawinan di bawah tangan tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya pada saat terjadinya koflik dan pertengkaran yang berujung dengan perceraian walau perceraian tersebut itu pun di bawah tangan juga.

PEMBAHASAN

A.    Definisi dan Dasar Hukum Nikah.
Istilah nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu ( النكاح ), adapula yang mengatakan perkawinan menurut istilah fiqh dipakai perkataan nikah dan perkataan zawaj.[7] Sedangkan menurut istilah Indonesia adalah perkawinan. Dewasa ini kerap kali dibedakan antara pernikahan dan perkawinan, akan tetapi pada prinsipnya perkawinan dan pernikahan hanya berbeda dalam menarik akar katanya saja.[8] Perkawinan adalah ;
عبارة عن العقد المشهور المشتمل على الأركان والشروط
Sebuah ungkapan tentang akad yang sangat jelas dan terangkum atas rukun-rukun dan syarat-syarat.[9]
Para ulama fiqh pengikut mazhab yang empat (Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali) pada umumnya mereka mendefinisikan perkawinan pada :
عقد يتضمن ملك وطء  بلفظ انكاح أو تزويج أو معناهما
 Akad yang membawa kebolehan (bagi seorang laki-laki untuk berhubungan badan dengan seorang perempuan) dengan (diawali dalam akad) lafazh nikah atau kawin, atau makna yang serupa dengan kedua kata tersebut.[10]
Dalam kompilasi hukum islam dijelaskan bahwa perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dari beberapa terminologi yang telah dikemukakan nampak jelas sekali terlihat bahwa perkawinan adalah fitrah ilahi. Hal ini dilukiskan dalam Firman Allah
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS.Ar-Rum ayat 21)
B.     Pemikiran Tentang Pencatatan Perkawinan di Indonesia.
Undang-undang RI tentang Perkawinan No. 1 tahun 1974 diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Menurut UU Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan).
Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi:
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hal ini terus terjadi karena perkawinan menurut agama dan kepercayaannya sudah dianggap sah, banyak pasangan suami istri tidak mencatatkan perkawinannya. Alasan yang paling umum adalah biaya yang mahal dan prosedur berbelit-belit. Alasan lain, sengaja untuk menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman administrasi dari atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi pegawai negeri dan ABRI). Perkawinan tak dicatatkan ini dikenal dengan istilah perkawinan bawah tangan atau nikah sirri.
Secara garis besar, perkawinan yang tidak dicatat di negara Indonesia ini sama saja dengan membiarkan adanya hidup bersama dengan status hukum yang tidak tetap, dan ini sangat merugikan para pihak yang terlibat (terutama perempuan), terlebih lagi kalau sudah ada anak-anak yang dilahirkan. Mereka yang dilahirkan dari orang tua yang hidup bersama tanpa dicatatkan perkawinannya, memiliki akibat hukum dengan dijadikannya satus anak tersebut sama dengan anak yang lahir dari perkawinan diluar nikah, sehingga anak tersebut hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, dalam arti tidak mempunyai hubungan hukum dengan bapaknya. Dengan perkataan lain secara yuridis tidak mempunyai bapak.
Sebenarnya, tidak ada paksaan bagi masyarakat untuk mencatatkan perkawinan. Dalam artian, jika kita tidak mencatatkan perkawinan, bukan berarti kita melakukan suatu kejahatan. Namun jelas pula bahwa hal ini memberikan dampak atau konsekuensi hukum tertentu yang khususnya merugikan perempuan dan anak-anak. Kemudian, ketika seseorang tidak dapat membuktikan terjadinya perkawinan dengan akta nikah, dapat mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan atau pengesahan nikah) kepada pengadilan agama.
C.     Putusan MUI Tentang Nikah di Bawah Tangan.
Kewenangan MUI dalam berfatwa adalah tentang :
1.  Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut umat Islam Indonesia secara nasional; dan
2    Masalah-masalah keagamaan di suatu daerah yang diduga dapat meluas ke daerah lain. (pasal 10).[11]
Adapun tentang nikah di bawah tangan dijelaskan di dalam diskripsi masalahnya bahwa nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah “Pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku”.[12]
Perkawinan seperti itu dipandang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan seringkali menimbulkan dampak negatif (mudharat) terhadap istri dan atau anak yang dilahirkannya terkait dengan hak-hak mereka seperti nafkah, hak waris dan lain sebagainya. Tuntutan pemenuhan hak-hak tersebut manakala terjadi sengketa akan sulit dipenuhi akibat tidak adanya bukti catatan resmi perkawinan yang sah.
Komisi fatwa MUI sengaja memakai istilah pernikahan di bawah tangan. Selain untuk membedakan dengan pernikahan siri yang sudah dikenal di masyarakat. Istilah ini lebih sesuai dengan ketentuan agama Islam. Nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam). Namun, nikah ini tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.
Oleh karenanya, peserta ijtima ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah prefentif untuk menolak dampak negatif atau al-mudharat (saddan li adz-dzari’ah). Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat sesuatu yang mudharat.[13]
Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, pada awalnya hukum Islam tidak secara konkret mengaturnya. Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan perkawinan. Waktu itu perkawinan sah apabila telah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Untuk diketahui warga masyarakat, pernikahan yang telah dilakukan hendaknya diumumkan kepada khalayak luas, antara lain melalui walimatul-'ursy. Nabi saw bersabda:
[أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ[رواه ابن ماجة عن عائشة
Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana (HR. Ibnu Majah dari 'Aisyah).
(أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ (رواه البخارى عن عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ
Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor kambing (HR. al-Bukhari dari 'Abdurrahman bin 'Auf).
Apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkawinan, pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian.
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya karena perubahan dan tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya. Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain.
Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan di antara suami isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi antara mereka. Perubahan terhadap sesuatu termasuk institusi perkawinan dengan dibuatnya undang-undang atau peraturan lainnya, adalah merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam. Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ
Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.
Ibnu al-Qayyim menyatakan[14] :
تَغَيُّرُ اْلفَتْوَى وَاخْتِلاَفُهَا بِحَسْبِ تَغَيُّرِ اْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ وَاْلعَوَائِدِ
Perubahan  fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat.
Keharusan mencatatkan perkawinan dan pembuatan akta perkawinan, dalam hukum Islam, diqiyaskan kepada pencatatan dalam persoalan mudayanah yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya, seperti disebutkan dalam firman Allah:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. (Al-Baqarah ayat 282)
      Akad nikah bukanlah muamalah biasa, akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur'an
  
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS.An-Nisa ayat 2)
Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.
Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama isteri dan anak-anak.[15] Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu prinsip dalam penetapan hukum Islam, sebagaimana disebutkan dalam kaidah:
تَصَرُّفُ اْلاِمَامُ عَلىَ الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَة
Suatu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya.


PENUTUP

Kesimpulan
Bagaimanapun aturan undang-undang perlu untuk diperhatikan manakala tidak ada satu hal yang mengharuskan untuk berpaling darinya. Sehingga dalam kondisi ikhtiyari (normal), pasangan suami isteri sebaiknya mengikuti segala aturan undang-undang. Tetapi ketika ada kebutuhan untuk melakukan pernikahan tanpa pencatatan, pernikahan ini boleh-boleh saja dilakukan. Dan memang, tidak ada cukup alasan fiqh untuk melarang apalagi mentidaksahkan pernikahan ini.[16]
Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain.





DAFTAR PUSTAKA
Al-Jaziri, Abdurrahman. 1986.  Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Fikr
Al-Imam Taqi al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Damsyiqi al-Syafi’i. tanpa tahun. Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar. Semarang: Usaha Keluarga
Djalil, Abdul.  2000.  Fiqh Rakyat Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan. Yoyakarta: LKIS Yogyakarta
Kamal, Mukhtar. 1974. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang
Mubarok, Jaih. 2002. Metodologi Ijtihad Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press
Redaksi Sinar Grafika. 2000. Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus Untuk Anggota ABRI; Anggota POLRI; Pegawai Kejaksaan; Pegawai Negeri Sipil. Jakarta: Sinar Grafika
Shihab, Muhammad Quraish. 2010. 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui. Jakarta: Lentera Hati
Sudarsono. 1997. Hukum Keluarga Nasional. Jakarta: Rineka Cipta
Fatwa Tarjih Hukum Nikah Sirri, Muktamar Muhammadiyah ke-35 disidangkan pada: Jum'at, 8 Jumadil Ula 1428 H / 25 Mei 2007 M
MUI online, Keputusan Komisi B Ijtima MUI dalam http://halalguide.com
Pencatatan Nikah Akan Memperjelas Status Hukum, dalam http//nikah.com
Situs Resmi Majelis Ulama Indonesia, http://www.mui.or.id



[1] Muhammad Quraish Shihab, 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2010),  h. 557-558
[2] Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus Untuk Anggota ABRI; Anggota POLRI; Pegawai Kejaksaan; Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000),  h. 1-2
[3] Ibid, h. 32
[4] Pencatatan Nikah Akan Memperjelas Status Hukum, dalam http//nikah.com, 6 Februari 2012
[5] MUI online, “Keputusan Komisi B Ijtima MUI” dalam http://halalguide.com, 6 Februari 2012
[6] Pencatatan Nikah Akan Memperjelas Status Hukum, dalam http//nikah.com,  6 Februari 2012
[7] Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h.
[8] Sudarsono, Hukum Keluarga Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 62
[9] Al-Imam Taqi al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Damsyiqi al-Syafi’i, Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar, (Semarang: Usaha Keluarga, t.th.), Juz 2, h. 36
[10] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), Jilid IV, h.
[11] Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2002), h. 171
[12] Situs Resmi Majelis Ulama Indonesia, http://www.mui.or.id, 6 februari 2012
[13] Situs Resmi Majelis Ulama Indonesia, http://www.mui.or.id,  6 februari 2011
[14] I’lam al-Muwaqqi’in, Juz III, h. 3.
[15] Fatwa Tarjih Hukum Nikah Sirri, Muktamar Muhammadiyah ke-35 disidangkan pada: Jum'at, 8 Jumadil Ula 1428 H / 25 Mei 2007 M
[16] Abdul Djalil, Fiqh Rakyat Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, (Yoyakarta: LKIS Yogyakarta, 2000), h. 289